Bukan hanya quiet firing, istilah quiet quitting juga ramai dibicarakan di media sosial. Fenomena quiet quitting populer sejak pertengahan 2022 lalu. Munculnya istilah ini dikarenakan keterlibatan pekerja, yang mana menjadi salah satu ukuran yang digunakan untuk mengevaluasi keterlibatan dan antusiasme di tempat kerja, menurun sejak paruh kedua 2021.
Jadi, apa sebenarnya quiet quitting itu? Bagaimana fenomena ini bisa muncul di lingkungan kerja, terutama di kalangan generasi milenial dan generasi Z? Berikut ulasan selengkapnya.
Pengertian quiet quitting
Menurut Investopedia, quiet quitting merupakan tindakan seseorang, dalam hal ini karyawan di suatu perusahaan, untuk melakukan persyaratan minimum dan tidak menghabiskan waktu yang lebih banyak, tenaga, dan antusiasme daripada yang benar-benar memang diperlukan.
Namun, quiet quitting juga bukan berarti bahwa seseorang benar-benar resign atau berhenti dari pekerjaan. Mereka hanya melakukan apa yang diperlukan untuk melanjutkan hidupnya. Tujuannya adalah untuk mendapatkan lebih banyak keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan.
“Karyawan masih melakukan tugasnya, tetapi tidak lagi tunduk pada mentalitas lama, bahwa pekerjaan harus menjadi hidup,” ucap Zaid Khan, yang merupakan seorang insinyur perangkat lunak dan musisi asal New York, seperti dikutip dari World Economic Forum.
Quiet quitting cukup populer di kalangan pekerja dari generasi milenial dan generasi Z. Simpelnya adalah dalam istilah ini kamu tetap bekerja, tetapi tidak “melampaui” atau secara sukarela melakukan pekerjaan tambahan yang tidak dibayar atau dihargai.
Fenomena ini tentu mengundang berbagai reaksi, tetapi yang perlu dicatat adalah tidak hanya ada satu cara untuk melakukan quiet quitting.
Penyebab quiet quitting
- Beban kerja yang berlebih
Porsi kerja yang berlebih menjadi salah satu keluhan umum dari karyawan yang melakukan quiet quitting. Bahkan, orang-orang yang melakukannya biasanya karyawan yang dulunya bersemangat, tetapi karena beban kerja berlebih dan bekerja terlalu keras, mereka akhirnya kelelahan.
Peningkatan beban kerja sering terjadi sebagai akibat dari pergantian pegawai. Semisal ketika ada satu karyawan pergi, maka anggota tim lainnya mengambil peran kosong tersebut sampai menemukan karyawan baru. Hal ini membuat karyawan menjadi lelah dan frustasi saat harus menunggu lama anggota tim pengganti atau pergantian yang sering.
Selain itu, pekerjaan yang berlebihan ini juga datang karena seorang karyawan yang mengambil kelonggaran bagi anggota tim lainnya dan kurangnya akuntabilitas dalam kelompok. Bahkan, suasana yang terlalu kompetitif dapat memicu kondisi ini. Karyawan jadi merasa perlu melakukan pekerjaan ekstra agar bisa bersaing dengan rekan kerja, atau menjadi ajang untuk membuktikan diri.
- Kompensasi yang kurang baik
Quiet quitting menghasilkan salah satu argument, yakni “hanya melakukan pekerjaan di mana kamu dibayar”. Ya, banyak karyawan yang akhirnya melakukan quiet quitting karena mereka merasa melakukan pekerjaan yang terlalu banyak dengan bayaran yang terlalu kecil.
Hal ini melahirkan sebuah akar masalah di mana karyawan merasa tidak dihargai terhadap pekerjaan yang dilakukan. Akibatnya, mereka mengurangi kinerjanya di tempat kerja.
Tidak hanya soal uang, masalah lain dari fenomena ini adalah rasa hormat. Ketika pekerja tidak diapresiasi setelah bekerja ekstra, mereka merasa pengorbanan dan usaha yang sudah dilakukannya tidak dihargai oleh atasannya. Sehingga karyawan merasa seperti dimanfaatkan.
Namun, satu hal yang perlu dicatat, kompensasi dalam hal ini adalah bisa lebih dari gaji. Di luar kenaikan gaji langsung, perusahaan mungkin menawarkan jaminan promosi dengan batas waktu yang jelas untuk kenaikan kompensasi. Atasan juga bisa memberikan tunjangan dan fasilitas, seperti makanan gratis, hari libur, dan otonomi untuk memilih proyek.
- Minimnya dukungan
Karyawan tentu mampu dan mau menerima kondisi kerja yang sulit, ketika mereka tahu atasan ada di pihak mereka. Sikap peduli dan perhatian dari atasan dapat membantu menjaga motivasi para pekerja.
Akan tetapi, seorang karyawan bisa berhenti dari kinerja mereka dan mengambil sikap quiet quitting saat atasan tidak memikirkan kepentingan terbaik, atau tidak bisa mengadvokasi mereka. Di sisi lain, kita juga perlu memahami kalau atasan seperti ini belum tentu buruk, mungkin saja ia tidak sadar, kewalahan, atau kurang efektif dalam meringankan beban karyawannya.
Dalam beberapa kasus, karyawan mengungkapkan keprihatinan mereka dan meminta bantuan. Tetapi, sayangnya atasan terlalu lambat dalam mengambil tindakan atau bahkan tidak pernah mengambil tindakan.
- Harapan yang tak jelas
Quiet quitting bisa terjadi karena karyawan merasa atasan punya harapan yang kurang realistis, dan malah menuntut hal yang tak masuk akal.
Secara sederhana, karyawan yang memutuskan untuk melakukan quiet quitting merasa perusahaan sudah meminta terlalu banyak pekerjaan tanpa adanya diskusi sebelumnya. Hal ini akhirnya membuat karyawan bekerja dengan posisi yang berbeda dari apa yang mereka terima dan harapkan, atau mengambil peran ganda.
Bahkan, karyawan bisa melakukan pekerjaan untuk dua atau tiga posisi yang berbeda. Tetapi, mungkin juga tujuan dan metrik yang ditetapkan terus berubah atau tidak jelas sama sekali.
Seorang pekerja mungkin saja percaya kalau mereka melakukannya dengan baik dan melampauinya, tetapi atasan terus meminta lebih banyak dan tidak memberikan feedback tentang kinerja yang baik tersebut.
Quiet quitting muncul akibat karyawan salah dalam memahami harapan manajer, dan manajer juga gagal memperbaiki kesalahpahaman tersebut.
- Buruknya komunikasi
Fenomena quiet quitting bisa terjadi karena karyawan tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan masalah mereka, atau takut untuk mengatakannya. Mereka juga mungkin beranggapan bahwa atasan cuek terhadap kekhawatiran mereka, tidak menjelaskan masalah ini secara detil atau salah berasumsi bahwa ternyata atasan sudah mengetahuinya.
Hal ini mungkin membuat karyawan menjadi takut dan ingin menghindari konflik, atau tidak pernah mengangkat masalah, sehingga mereka diam-diam menarik diri dengan alasan memberanikan diri untuk mengungkapkan masalah.